Banyak kata yang terlintas saat mendengar kalimat ‘Perfilman Indonesia’ saat ini. Opini yang diberikan pun berbeda-beda. Mungkin akan ada segelintir orang yang berkata bahwa film Indonesia itu buruk, tidak mendidik, monoton, dan mainstream. Perfilman Indonesia sendiri memiliki sejarah yang panjang dan dimulai dari film pertamanya di tahun 1926, yaitu Loetoeng Kasaroeng hingga saat ini masih terus mengembangkan sayapnya. 

Hal yang tidak disadari oleh penonton saat menilai suatu karya film adalah mereka melihat sesuatu yang berada di depan layar, bukan di balik layar. Terkadang kita juga lupa, bahwa kita tidak bisa memukul rata sebuah karya, nyatanya masih banyak film Indonesia yang berkualitas. Hanya saja kita masih terbelenggu dengan kalimat ‘film Indonesia itu kualitasnya kurang bagus.’ Dan apresiasi yang kita berikan pun lebih tersalurkan ke film luar negeri. Terkadang opini masyarakat bisa semakin membuat film Indonesia terpuruk dan kalah saing dengan film luar negeri.

Salah satu penyebab banyaknya masyarakat yang tidak mengapresiasi film Indonesia adalah karena film Indonesia terkadang terkesan ‘ikut-ikutan’. Padahal sebenarnya perfilman kita tidak kalah kreatif, hanya saja kita kekurangan SDM dan dana yang memadai. Kita juga kurang menggali potensi dari budaya yang kita miliki. Dilihat dari film Indonesia akhir-akhir ini, yang berlatarkan di luar negeri, padahal kita sendiri memiliki potensi alam dan tempat yang tidak kalah indah untuk digunakan sebagai lokasi syuting.   

Ditambah lagi, dilihat dari segi bioskop yang masih kekurangan. Menurut majalah Forbes, dengan jumlah 255 juta jiwa, hanya terdapat 1.159 layar pertahun, dan 87 persen di antaranya di pulau Jawa. Namun kabar baiknya, majalah Forbes mengutip dari kepala Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM), Franky Sibarani, yang memproyeksikan pada 2019 mendatang akan terdapat 5 ribu layar bioskop di negeri kita. Industri film sepertinya akan terus berevolusi ke arah yang  lebih baik. Hal yang perlu diimbangi lagi adalah pada bobot yang terkandung pada film, lebih banyak segi menghibur dari pada segi edukatif.

Banyak hal yang lebih membanggakan lagi, contohnya seperti film The Raid yang dapat menembus pasar internasional dan masuk ke dalam 50 daftar Film Action Terbaik Dunia. Jangan lupakan juga film pendek buatan anak muda dari Indonesia yang mendapatkan apresiasi di luar negeri. Seperti film yang disutradarai oleh Mouly Surya, berjudul “Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak” yang baru-baru ini mendapatkan penghargaan di Cannes Film Festival 2017. Ada juga dua film nasional yakni “Surau dan Silek” dan “MARS-Mimpi Ananda Raih Semesta” yang memperoleh penghargaan BISA Hong Kong Film Award 2017.

Untuk terus menjalankan revolusi ke arah yang lebih baik dalam bidang perfilman, bangsa Indonesia harus mulai mempercayakan kepada film-film yang diproduksi di Indonesia. Mulailah mengapresiasi dengan memberikan tanggapan positif terhadap film Indonesia, dan lebih menghargai dengan tidak menjelek-jelekan suatu film. Mulailah berbuat, dengan tidak menonton film hasil bajakan yang semakin merusak mental bangsa. Peran pemerintah pun sangat dibutuhkan untuk membantu mempercepat revolusi perfilman Indonesia, seperti mendukung para anak bangsa untuk terus berkarya dan membanggakan Indonesia di mata dunia. Seperti sekarang ini, memperbanyak workshop dan seminar untuk menambahkan ilmu tentang perfilman dari usia remaja juga sangat diperlukan. Agar para remaja bisa terus membawa perfilman Indonesia ke arah yang lebih baik.

Tujuh puluh dua tahun, Indonesia kerja bersama!