Diary
Aku keluar dari kelas dengan
perasaan yang bingung. Rafi, teman sekelas ku, dia meminta aku untuk menjadi
pacar nya. Padahal aku baru mengenalnya satu bulan ini. Aku hanya merasa
bingung, dekat pun aku tidak pernah. Yang aku tahu, Rafi pintar dan dia baik
kepada ku, itu saja. Tetapi ya, pandangan yang dia berikan saat melihat ku
memang lah berbeda. Tetapi itu bukan menjadi patokan untuk aku mengharapkannya.
Pikiran ku saat ini sangat kalang kabut, aku tidak fokus berjalan di keramaian
saat bubaran pulang sekolah ini.
“Ri!” panggil seseorang yang membuat ku spontan membalik
kearah sumber suara. Dan saat aku lihat itu adalah Kak Bagas.
“Eh iya kak, ada apa?”
“David nungguin di lapang basket tuh”
“Oh iya? Oke makasih kak”
Dengan semangat ’45 aku berjalan
menuju lapang basket. Terlihat dari kejauhan tim basket SMA Cendrawasih sedang berlatih
di sana. Sesampainya di lapang basket, aku hanya duduk di kursi penonton.
Menunggu david mengahampiri ke kursi ku. Dan tidak lama setelah aku duduk,
terlihat David berlari menghampiri ku.
“Ada apa ri?”
“Loh, kan David yang nyuruh aku kesini?”
“KAK DAVIDDD, ARIAN”
“Eh iya maaf, kan KAK DAVID yang nyuruh aku kesini” ucap ku
dengan nada penuh penekanan.
“Hehe iya, lupa. Mau pulang bareng ga? Tapi tungguin aku
latihan dulu”
“Lama ga? Kalo lama sih mending pulang sendiri”
“Bentar kok”
Aku pun
dengan pasrah hanya mengangguk dengan ajakan david yang selalu memaksa, kak David
maksud ku. Dia adalah teman ku dari kecil, kami hanya berbeda 1 tahun. David
lebih tua 1 tahun dari ku tentunya. Kita berteman dari zaman david baru pindah
ke Bandung, waktu itu dia kelas 4 SD. Dulu sih david ga masalah di panggil
dengan sebutan “David” doang. Tapi semenjak kita masuk SMP, dia ingin di
panggil dengan sebutan “Kak David” hanya saat aku berada di depan teman –
temannya. Dan sampai sekarang, aku masih protes dengan peraturan yang memaksa
itu.
Aku
sudah biasa pulang bersama David, karena rumah kita memang sebelahan. Aku biasa
menunggu nya latihan basket dulu. Terkadang dia juga menunggu aku latihan
ekskul paduan suara. Di rumah juga David biasanya membantu ku mengerjakan soal
Fisika, dan aku membantunya mengerjakan kesenian. Terkadang David berada dirumah
ku sampai pukul 2 dini hari, mengobrol bersama kaka ku Ferdian. Dan baru
pulang, di saat orang tua nya menyusulnya ke rumah ku. Aku tidak tau kita itu
apa, banyak yang bilang kalau kita itu pacaran. Tetapi, aku menolak mentah –
mentah tanggapan itu.
“HEH! Bengong mulu, mikirin apa sih?”
“Siapa yang bengong. Lama benget sih Dav, pengen balik nih laper”
“Sorry sorry, tadi tuh ada pengumuman. Katanya minggu depan
ada pertandingan gitu lawan SMA lain”
“Oh, yaudah yu balik”
Di
perjalanan, aku hanya memikirkan Rafi lagi. Aku bingung dengan apa yang harus
aku jawab. Dia minta jawaban nya besok, yang jelas – jelas aku bingung. Aku
hanya bicara kepadanya di kelas di saat kami sekelompok, dan itu hanya
sebutuhnya saja. Dan aku tidak pernah menyangka kalau dia menyimpan perasaan
yang lebih kepada ku.
“Ri, macet. Mau makan di luar ga?” David pun akhirnya
membuka percakapan dan membuyarkan lamunan ku.
“Boleh, tapi bayarin”
Tanpa
ba – bi – bu lagi, david pun memutar balikan motor dan pergi ke arah café
Senja. Tempat favorit kami berdua. Sesampai nya di café, aku dan david biasanya
mengambil tempat duduk di lantai 2 café. Pemandangan di sana yang membuat kami
berdua suka dengan café ini. Biasanya kami pergi ke sini untuk melihat senja,
matahari terbenam. Setelah memesan, david pun angkat bicara.
“Mikirin apaan sih ri. Muka kamu udah kaya banyak hutang tau
ga”
“Kepo amat sih”
“Ih serius, mau di bayarin ga nih?”
“Iya deh iya, tapi jangan ketawa”
“Banyak peraturan amat sih, cepetan ada apa?”
“Tau Rafi yang di kelas aku ga?”
“Hm yang ekskul futsal itu bukan sih? Kenapa emangnya? Kamu
naksir?”
“Enak aja”
“Terus kenapa?”
“Dia nembak aku”
David pun tersedak, mukanya
memerah. Aku pun menyerah kan minuman ku yang kebetulan belum aku minum.
Setelah keadaan David membaik, David hanya terdiam. Tidak menanggapi percakapan
kami yang tadi.
“Mangkanya jangan suka maksa orang, jadinya keselek kan”
“Terus gimana? Kamu terima ga?”
“Yaaa ga tau sih, belum aku jawab”
“Terima aja”
“Kok jadi ngebela dia sih, kasih dulu alasan kenapa aku
harus nerima dia, lagian aku belum terlalu deket sama dia”
“Tanya aja hati kamu”
“Hati, kamu suka Rafi engga?”
“Bodoh, bukan gitu caranya”
***
Di
rumah aku hanya mondar – mandir di dekat kasur. Hati ku tetap tidak tenang. Aku
pun menyapu barang – barang satu persatu, mencari sesuatu yang bisa membuat ku
tenang. Novel, ah tidak itu akan membuat ku semakin pusing. Ngemil, engga ah
udah lewat jam 9 gini. Aku pun melihat buku yang bersampul berwarna hijau di
atas laci kecil. Aha, itu buku diary ku. Mungkin dengan mencurahkan isi hati ku
kesana fikiran ku akan sedikit membaik.
Keesokan
harinya, aku hanya diam di kelas. Aku pun tidak menganggap Rafi ada didalam
kelas. Aku bingung, aku harus bagaimana di hadapan dia. Dan saat pulang sekolah
pun Rafi mengajak ku berbicara di bangku penonton di lapang basket.
“Ri, mau mau ngomong dong sebentar ya?”
“Tinggal ngomong aja, kenapa harus di sini sih?”
“Yaudah maaf deh, bentar kok. Mau nanya aja”
“Yaudah cepetan” Aku
pun mencari – cari David, membuat nya menjadi alasan agar aku bisa keluar dari
zona tidak nyaman ini.
“Ada hubungan apa sih kamu sama Ka David? Kalian pacaran?”
“Ih so tau, engga tuh. Kita engga pacaran” Dan saat aku
selesai mengucapkan kalimat itu, aku melihat David sedang mengobrol dengan
salah satu cewe anggota cheers. Mereka sedang mengobrol asik di sebrang
lapangan.
“Terus gimana perasaan kamu sama aku?”
Ah mampus. Ternyata itu pertanyaan menjebak. Mumpung ada
David diseberang lapangan , ada kesempatan untuk alibi, menghindar dari pertanyaan Rafi.
“Eh itu Kak David, gue ke sana dulu ya byeee”
Aku pun dengan setengah berlari menyebrangi lapangan basket,
dan BRRRUUUUUK.
Aku merasakan ada sebuah
benda berat yang menghantam kepalaku. Kepala ku pun terasa berat dan aku
tidak ingat apa – apa lagi.
Aku
mendapati diriku sudah berada di kamar, aku melihat ada David disana.
“Bodo banget sih Arian, orang lagi pada main basket malah
nyelonong aja nyebrang! Berdarah kan hidung kamu”
Aku menekan hidung ku dan benar saja, terasa perih disana.
“Aku tuh mau nyamperin kamu tau ga, dan kabur dari
pertanyaan si Rafi” ucap ku kesal.
“Lewat pinggir kan bisa, ceroboh banget”
“Ih orang abis kena celaka marah di marahin, nama nya juga
ke-ce-la-ka-an. Oh iya ngobrol sama siapa tuh tadi? Asik banget kayanya”
“Oh yang tadi? Dia Friska, cantik banget kan? Baik lagi,
ngobatin aku pas lagi latihan basket”
Tidak tahu kenapa tenggorokan ku tercekat saat mau
memberinya pertanyaan yang lain. Melihat David membicarakan orang lain membuat
ku aneh, apalagi dengan gaya nya yang antusias. Iya aneh, hati ku terasa aneh.
***
“Hari
– hari selanjutnya aku mulai menjauh dari David. Aku dengar dia jadian sama
anak cheers itu, Friska. Dan dia tidak pernah punya waktu untuk pulang bareng
bersama ku atau mampir ke rumah ku lagi. Aku pun mengambil keputusan untuk
menjauhi David, dan menerima Rafi untuk menjadi pacar ku. Tidak ada salah nya
kan ? pernah sesekali aku ber papasan dengan David di kantin, dan aku tidak
menyapa atau memberinya senyum sama sekali. Dan dia kelihatan gelagapan, hah
peduli amat sih.
Tetapi
jangan salah, walaupun aku menjauhi David, aku selalu mencari kabar nya dari
jauh. Lama kelamaan aku menyadari, kenapa selama ini aku seperti membenci
David. Aku akui, aku cemburu. Terlambat untuk aku menyadari bahwa aku sayang David,
tetapi dia sekaramg bahagia bareng friska kan? Yaudah. Tetapi sudah seminggu
ini aku tidak melihat David, dia kemana?”
Aku pun menutup buku diary ku, dan mencoba untuk memejamkan
mata. Besok nya, aku mencari ka Bagas, teman basket nya David. Mungkin dia tahu
kemana perginya David, rumahnya pun sepi. Di pertengahan anak – anak basket
sedang berlatih, aku menghampiri ka Bagas.
“Ka, Ka Bagas!”
“Eh Arian, tumben ke sini. Ada apa?”
“Ehhh, liat David ga? Udah seminggu ini aku ga liat dia,
rumah nya juga sepi. Aku ketok ketok engga ada jawaban dari rumahnya”
“Kamu ga tau David kemana? Wah wah wah, gara – gara friska
kalian lost kontak ya?”
Deg jantung ku berdegup lebih kencang mendengar pernyataan
barusan.
“Ini ada dari titipan dari David, dia titip ini seminggu
yang lalu. Tapi kata dia nunggu kamu aja yang nyariin dia. Tapi syarat nya kamu
harus buka tulisan ini dirumah oke?”
Aku kebingungan dan hanya meng’iya’kan. Akupun mengucapkan
terima kasih kepada kak Bagas sebelum dengan cepat cepat aku pulang kerumah.
Saat aku sampai di kamar aku membuka kertas kecil itu dan tulisan nya
“Buka diary kamu bagian akhir”
Aku tambah bingung, tetapi aku hanya mengikuti perintah itu
dan dengan cepat mengambil diary ku. Di bagian akhir aku lihat tulisan David
yang aku kenal jelas, menuliskan sesuatu.
“AKU GA TERIMA ARIAN, KAMU JADIAN
SAMA RAFI. Kamu seharusnya tau, aku duluan yang sayang sama kamu. Kenapa kamu
terima dia? Dan aku tau, aku memang salah, malah mendekati Friska. Aku baru
menyadari di saat kamu menjauh, Ada yang kurang. Ada yang hilang. Maafin aku,
aku juga mutusin friska karena sebenarnya aku ga bener bener suka sama dia.
Ternyata orang yang aku sayang cuman kamu, Arian. Pasti kamu nanya – nanya aku
kemana. Aku lagi long weekend sama papa mama ke Disneyland Hongkong hehehehe
hadiah buat ultah nanti. Dan yang aku mau buat kado special aku nanti cuman
kamu. Boleh kan? Aku cuman minta buat kamu engga ngebohongin perasaan kamu lagi
oke? Dan ya maaf aku udah baca isi diary kamu, termasuk isi hati kamu. Sampai
ketemu lagi tanggal 18 Juni!”
Dasar
David!!! Dan ya sial, besok itu tanggal
18 Juni. Berarti aku harus mutusin Rafi? Oh tidak, Rafi yang malang.